Saturday, January 21, 2006

AKU LAGI

Aku mulai tahu, Allah itu bener2 sayang sama kita semua. Beneran lo...bukan kata2 anak kecil doang itu mah. selama ini apa sih yang nggak dia kasih buat kita? kita yang suka celelekan dan nyepelein Dia aja masih dikasih hidup. belom lagi kita minta ini minta itu. minta tolong, minta duit, minta seneng...cih banyak bgt pmintaan manusia mah.
Allah yang Maha Segala-galanya tuh emang baiiiiiiiiiiiik bgt. coba yah...kita tetep aja dikasih sama Dia semua yang kita minta. dan tentunya klo nggak dikabulin juga buat kebaikan kita. tul gak? sayangnya gak banyak dari kita yang suka bsyukur. penginnya kurang aja....

Tuesday, January 10, 2006

Horor itu...


“Asni, tahu nggak? Sekolah kita ini angker lho.” kata Sita padaku suatu hari.
“Memangnya…angker apaan sih? Nama penyakit yah? Angker ulit, angker otak, angker andungan…” kataku menggodanya.
“Itu sih Kanker. Serius dong.” kataku sewot, “Kemarin kan Eva anak kelas 2 Koperasi itu, kerasukan.” sambungnya dengan nada penuh kesungguhan. Mau tak mau aku pun harus ikut bersungguh-sungguh. Apalagi setelah mendengar apa yang baru saja dikatakannya.
“Ah…yang bener? Kapan?” tanyaku serius, sambil mendekat padanya.
“Kemarin abis pulang sekolah. Jadi kamu bener-bener nggak tahu yah?” tanyanya padaku. Aku hanya menggelengkan kepala dan terus memfokuskan diri padanya, “Emang gimana ceritanya?” tanyaku kemudian.
“Ceritanya kemarin Eva berangkat ke sekolah pagi banget. Waktu belum ada banyak orang gitu deh. Kira-kira jam 6.” katanya mengawali cerita.
“Terus?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi tak sabar.
“Jadi, waktu itu kan masih sepi banget. Baru ada dia sendiri. Terus, dia nggak jalan lewat pintu barat kaya biasanya. Dia milih lewat pintu timur.” katanya kembali bercerita.
“Kenapa?”
“Nggak tahu juga sih.”
Dia baru saja akan membuka mulut untuk melanjutkan ceritanya saat tiba-tiba aku teringat sesuatu dan segera menyelanya.
“Stop…stop…! By the way, itu berarti dia lewat depan kelas kita dong?” tanyaku makin penasaran.
“Iya. Terus katanya waktu lewat depan kelas ini, suasananya jadi mistis. Ada bau wangi terus tiba-tiba saja bulu kuduknya berdiri.”
“Terus…terus…” aku mulai antusias.
“Mmm…dia kan punya six sense, waktu dia lewat tepat di depan pintu kelas, dia lihat ada cewek seumuran kita pakai baju seragam lengkap and senyum ke dia.” katanya sambil mendekapkan tangan pada badannya sendiri, “Ih serem deh.” lanjutnya.
“Ah…mungkin itu cuman temen kita saja.” kataku mencoba menyangkal.
“Katanya sih bukan. Soalnya…” kata Sita sambil menggerakkan matanya ke seluruh bagian ruang kelas, “Kakinya melayang.” lanjutnya.
Aku mulai ketakutan. Kuputarkan pandangan mataku ke seluruh ruang kelas. Ruangan yang awalnya biasa-biasa saja, kini terasa begitu mistis. Aku mulai terbayang-bayang pada acara televisi yang belakangan ini mulai latah dengan tema-tema horor. Dalam bayanganku gambar presiden dan wakil presiden tiba-tiba mengeluarkan darah, wayang Arjuna yang tergantung di dinding tiba-tiba menjadi monster yang menyeringai dan melayang ke arahku, semua hiasan yang tergantung tiba-tiba bergerak dan terjatuh. Aku dan Sita terdiam. Pandangan mata kami bertemu. Aku segera beranjak dari tempat dudukku, begitu pula Sita. Kami segera berlari keluar kelas. Ketakutan.
Ya, waktu itu kami sedang duduk berdua di kelas. Kompleks utama sekolahku telah sepi. Seluruh kegiatan ekstrakurikuler telah berakhir dan semua siswa telah kembali ke rumahnya masing-masing. Begitupula teman-teman yang baru saja mengikuti ekstrakulikuler bola volley. Pak Yadi, penjaga sekolah sekaligus ‘Pak Kantin’ kami yang biasanya mondar-mandir telah selesai mengerjakan tugasnya. Beliau telah mengambil semua gelas dan minuman serta mengunci semua ruangan penting. Di dekat masjid masih ada beberapa orang bermain tenis. Sayang tempat itu jauh dari kelas kami. Suasana sepanjang koridor benar-benar sepi hingga derap langkah kami terdengar begitu jelas.
Kami memutuskan untuk mengobrol di depan pintu gerbang timur yang biasa dipakai para siswa atau orang-orang lewat menunggu jemputan. Sambil menunggu kami memutuskan untuk melanjutkan cerita kami yang terputus.
Dari cerita Sita aku tahu kemarin Eva sempat berteriak-teriak di ruang UKS. Hanya anak-anak yang mengikuti Tonti (pleton inti) saja yang mengetahuinya.
Masih dari cerita Sita, Eva kerasukan hantu cewek penghuni kelasku. Mungkin hantu itulah yang dilihatnya pagi hari sebelum ia kerasukan. Konon, dia hantu salah satu siswa sekolah kami yang mati tertabrak bus besar di daerah Prambanan beberapa tahun silam. Naas memang, Dia belum sempat pergi ke sekolah. Sebelum dia sempat mendapatkan bus yang biasa mengantarnya, bus besar terlebih dahulu merenggut nyawanya. Konon, arwahnyalah yang kemudian datang ke sekolah dan mendiami kelasku, yang dulu kelasnya juga. Cerita ini juga pernah kudengar dari sepupuku yang dulu bersekolah di sana.
Kelasku terletak di sebelah timur, bersebelahan dengan deretan ruang kelas 2 yang lain. Koridor kelasku tidak sama dengan kelas-kelas yang lain. Bagian depan yang menghadap ke selatan tertutup oleh kamar mandi yang menghadap ke barat. Ada pintu yang mengarah ke koridor panjang antara kelas dan kamar mandi itu. Bagian kiri kelasku sama saja keadaannya. Cahaya matahari tak dapat masuk karena terhalangi bangunan laboratorium komputer dan laboratorium sekretaris. Kelas kami makin terkenal sebagai kelas tergelap. Hal itu menambah kesan angker dan sangar kelas kami. Apalagi dibarengi dengan isu hantu cewek yang menghuni kelas itu.
Isu seputar hantu itu nampaknya telah menyebar di sekolah kami. Bahkan guru kami pun telah menceritakannya pada kami, tepatnya saat beliau melihat teman kami yang melamun saat beliau mengucapkan salam. Entah cerita itu adalah sebuah kenyataan atau hanya intermezo-nya belaka, agar kami terbiasa menjawab salam. Yang jelas isu itu semakin santer saja.
Sebenarnya, bukan hanya kelas kami yang terkenal angker. Mungkin seantero sekolah kami memang angker. Sepupuku pernah bercerita begini. Suatu saat, ROHIS akan mengadakan acara peringatan hari besar agama. Mereka menginap di sekolah selama semalam untuk menyiapkan dekorasi panggungnya. Salah seorang anggota duduk mendengarkan siaran radio saat anggota yang lain sibuk menata dan menempel huruf pada background aula. Tepat pukul 24.10 radio tiba-tiba saja off. Tak selang berapa lama, radio itu on lagi. Off…on…begitulah yang terjadi berulang-ulang hingga anggota itu lari ketakutan.
Pernah juga saudaraku itu bercerita tentang hantu yang menghuni pohon besar di pinggir lapangan olahraga, di ujung barat sekolah kami. Konon hantu itu berasal dari sebuah pohon beringin besar di perempatan dusun dekat sekolah kami. Ternyata…hantu juga bisa pindahan to?
***
Suatu hari aku berkenalan dengan seorang teman yang biasa bermain bulutangkis di sekolah pada malam hari. Namanya Ahmad. Dia dan teman-temannya harus menyewa ruang untuk dapat bermain di sana. Suatu hari…
“Asni, tahu nggak?”
“Tentang apa?”
“Sekolahmu itu ada hantunya lho.” katanya. Aduh…lagi-lagi soal hantu.
“Itu lho, di kamar mandi sebelah timur lapangan.”
Darinya kudengar bahwa salah satu temannya pernah melihat penampakan di sana. Ih…serem!!
Awalnya kupikir kamar mandi di sebelah timur lapangan bola basket yang dimaksudkan olehnya. Padahal, setahuku kamar mandi itu justru paling ‘aman’. Aku pun mulai berpikir tentang kamar mandi di pojok barat-selatan. Kamar mandi itu memang berada di sebelah timur lapangan badminton. Maklumlah, kami tidak pernah menyebutnya sebagai lapangan badminton. Sebenarnya ruangan itu adalah sebuah aula terbuka yang multifungsi.
Kamar mandi di sebelah timur lapangan itu memang gelap, lembab dan menakutkan. Ah… bukan hanya kamar mandi itu yang menakutkan. Semua kamar mandi di sekolahku memang menakutkan. Jumlah keseluruhan kamar mandi di sekolahku ada empat blok. Tiga blok ada di lantai bawah dan satu blok di lantai atas. Kalau ditanya jumlah biliknya, aku tak mau pusing-pusing menghitungnya. Yang jelas, tempat-tempat itu memang dianggap angker oleh warga sekolah kami. Wajar saja, bukannya kamar mandi itu memang rumah setan?
Aku sendiri tidak mau ambil pusing dengan hal itu. Kata Ayah, setan itu ada di mana-mana. Kalau kita tidak mengusiknya, untuk apa mereka mengusik kita? Jadi intinya…toleransi antara manusia dengan hantu gitu deh (hehehe…). Walaupun begitu, aku tidak menampik keyakinan bahwa mereka ada. Selama ini aku sendiri punya pengalaman dengan yang namanya hantu. Tapi cerita itu hanya kusimpan sendiri sebagai bumbu dari masa kecilku. Mungkin suatu saat aku juga bisa menuliskannya dalam bentuk cerita.
Aku tak mau terlalu mendramatisir kejadian itu hingga membuatku ketakutan. Begitu pula saat teman-temanku tak berani menyambangi kamar mandi di pojok barat lantai atas, kubuktikan bahwa tak ada apa-apa di sana. Kumasuki ruangan itu sendirian dan aku pun masih utuh sampai sekarang. Bukannya sok berani, aku hanya ingin menunjukkan bahwa bukan mereka yang perlu ditakuti, tapi Tuhan yang telah menciptakan mereka.
Suatu sore aku mengikuti Persami
1 di sekolah. Antrian untuk mandi panjang sekali. Aku yang biasa mandi di kamar mandi guru, akhirnya harus memilih kamar mandi di pojok atas itu. Saat aku baru saja datang ke sana, tiba-tiba…
”Asni, aku takut banget,” kata seorang teman dari kelas lain yang aku sendiri lupa namanya.
“Emang kenapa?” tanyaku padanya.
“Masa’ tadi krannya hidup sendiri.” katanya mulai ketakutan.
“Ah…kendho
2 kali.”
“Nggak! Coba deh periksa.” katanya masih terlihat cemas.
Kubuka pintu bilik itu. Tak setetespun air keluar dari kran. Lalu aku pun mandi di sana dan tak terjadi apa-apa padaku.
“Ah…horor itu cuman mimpi.” kataku kemudian sambil melihatnya berlalu.
Lain lagi cerita yang dialami Bu Nanik, salah seorang guru di sekolahku. Tapi, ini pun hanya cerita temanku. Katanya, beliau pernah terkunci di kamar mandi guru selama ± 2 jam dan tak seorang pun mendengar teriakkannya. Entah kenapa. Pintu kamar mandi baru terbuka dengan sendirinya setelah beliau pingsan. Kejadian apa yang terjadi di dalam kamar mandi, sampai sekarang tak ada seorang pun yang tahu.
***
Kini aku sedang duduk di depan mesin ketik manual di laboratorium mengetik. Aku memanfaatkan dua jam mata diklat mengetikku untuk mengerjakan Art Typing. Aku mencoba membuat gambar dua orang sedang bermain basket dengan mesin ketik itu.
TING…TONG…!!!
Bel 3 × tanda waktu pulang berbunyi. Aku segera menyelesaikan pekerjaanku, mengembalikan mesin ketik dan kursi pada posisi semula yang rapi. Lalu aku berlari menuruni tangga menuju kelasku, dan bergegas pulang. Tak sampai setengah jam, aku kembali ke sekolah sambil membawa baju ganti dan alat-alat dekorasi. Di lobby, kulihat Shifa dan Deka telah berkumpul bersama teman-teman lainnya. Kami segera bekerja membuat huruf dan hiasan yang akan ditempelkan pada background aula. Persiapan ini kami lakukan untuk menyambut para pelajar dari Australia yang akan bertukar kebudayaan dengan Indonesia.
Pukul 21.00 kami telah berkumpul di aula. Kami mulai menempelkan huruf-huruf dengan rapi serta memasang berbagai hiasan. Tepat pukul 23.15 kami dapat menyelesaikan pekerjaan itu. Dengan segera kami terkapar di masjid karena kelelahan.
Jam menunjukkan pukul 00.15. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Oh my God! Novel ‘Gadis Jakarta’ karya Najib Kaelani-ku tertinggal di aula. Padahal…novel itu hanya capjam alias cap pinjaman. Akhirnya, kuputuskan untuk mengambilnya.
“Asni mau kemana?” tanya Deka mengagetkanku.
“Mau ke aula. Ambil buku, ketinggalan.” jawabku. Deka menggeliat sebentar, duduk dan mengucek-ucek matanya.
“Mau diantar nggak?” tanyanya sambil menguap.
“Nggak usah deh, makasih.” kataku sok gentle. Padahal sebenarnya aku takut juga.
Deka kembali berbaring dan aku pun beranjak menuju aula. Sampai di sana kudapati buku itu ada di mimbar kecil yang biasa dipakai untuk memberikan sambutan. Segera kuambil buku itu.
Tiba-tiba saja aku teringat cerita Ahmad tentang penampakan yang dilihat temannya di kamar mandi. Kuarahkan pandanganku ke kamar mandi itu. Gelap.
GRKKK!!!
Bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Aku segera teringat hantu yang merasuki tubuh Eva. Kulangkahkan kakiku meninggalkan aula, kembali menuju masjid. Saat melewati lapangan basket…
DUK…DUK…DUK…!!!
Kulihat dua orang perempuan bermain basket. Seorang men-drouble bola dan yang lain mencoba merebutnya.
“Aneh…” pikirku,” lewat jam 12 malem masih ada yang main basket?”
Kukucek mata dan kulihat lagi. Mereka masih ada di tengah lapangan. Salah seorang melihat dan berlari ke arahku. Jantungku berdetak tak menentu.
“Ayo gabung.” katanya seraya meraih tanganku, lalu menarikku ke tengah lapangan. Aku tak sempat menolak.
Kini aku telah berdiri di depan ring,di tempat ‘tembakan 3 angka’, bersama kedua perempuan itu. Seorang dari mereka melemparkan bola yang dipegangnya padaku. Aku pun men-drouble bola itu. Mereka mencoba merebutnya dariku.
Kami asyik sekali malam itu, hingga aku tak memikirkan lagi keganjalan-keganjalan yang terjadi di lapangan. Lampu yang menerangi lapangan itu…tak mungkin mereka pasang hanya dalam beberapa menit, selama aku berada di aula. Apalagi memikirkan tentang permainan bola basket yang kulakukan hingga hampir jam 2 malam itu. Aku tak peduli lagi. Aku terlena dengan permainan seru kami.
Kedua perempuan itu terus mencoba merebut bola dariku. Kulakukan pivot agar mereka tidak bisa merebutnya dariku. Lalu aku drouble bola menuju ring basket. Kuakhiri langkahku dengan lay up dan bola pun memasuki ring dengan indah.
POK…POK…POK…!!!
Suara tepuk tangan menggema di lapangan. Aku berdiri terpaku tak percaya. Jantungku berdetak kencang sekali. Keadaan yang tadinya terang kini kembali gelap. Lampu-lampu yang meneranginya beberapa waktu yang lalu telah hilang. Begitu pula kedua perempuan yang bermain basket bersamaku.
DUK…DUK…DUK…!!!
Kini aku berdiri membelakangi ring basket. Bola basket yang berhasil kumasukan ke dalamnya kini masih memantul setelah berbenturan dengan lantai. Aku masih terpaku dan terpana. Jantungku berdetak semakin cepat. Keringat dingin bercucuran, bukan karena aku baru saja berolahraga, namun karena aku ketakutan setengah mati.
Kulihat…mungkin 20, 40, 80…jumlah sosok tubuh di pinggir lapangan itu terus bertambah. Pakaian mereka serba putih dan….tak ada wajah. Aku yakin sekali. Walaupun hari itu gelap sekali, tapi aku benar-benar yakin bahwa tak ada wajah…mungkin bukan wajah. Lebih tepatnya tak ada hidung… mulut… mata dan bagian apapun di kulit yang putih seputih kapas itu. Dan aku semakin ketakutan saat melihat kaki mereka yang tak menyentuh tanah. Persis seperti cerita Sita tentang hantu yang dilihat Eva. Kain putih yang menutupi kaki itu hanya melayang, sedikit sekali menyentuh tanah. Mereka terus bertepuk tangan dan tertawa. Kukucek mataku. Aku benar-benar tak melihat ada mulut pada tubuh mereka. Namun…suara tawa mereka terdengar sangat jelas.
Tiba-tiba saja muncul dua titik cahaya di kulit (tempat wajah mereka seharusnya) itu. Cahaya itu berwarna merah menyala. Satu persatu dari mereka mulai bergerak mendekatiku. Mereka terus mendekat dan berputar mengelilingiku. Aku semakin ketakutan. Mereka terus menghimpit dan membuatku sesak. Aku benar-benar ketakutan. Lalu semua gelap. Aku tak tahu apa-apa lagi.
***
“Asni…Asni…kamu kenapa?”
Aku pun tergagap, terbangun dari tidurku. Aku terpana melihat Sita masih duduk di depanku.
“Kamu kenapa sih? Sok alim banget. Tidur saja pake baca ayat Qursy segala. Lagian….tega banget sih, aku kan lagi cerita. Malah ditinggal tidur lagi!”
Sita masih saja memarahiku, sedangkan aku sibuk dengan syukurku. Untung horor itu benar-benar hanya mimpi.
Jogjakarta, 20 Maret 2005
Hand_shaoran
1 Perkemahan Sabtu-Minggu
2 tidak kencang

Ayah...


Punya empat orang anak perempuan tentu menjadi suatu anugerah, sekaligus beban berat buat Ayah. Kenapa? Karena itu berarti ayah harus menanggung enam orang perempuan di rumah. Ibuku, aku, ketiga kakakku dan Simbahku. Tahu sendiri kan? Yang namanya perempuan itu musti dijaga baik-baik agar menjadi baik. Istilahnya, perempuan itu terbuat dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok. Jadi, musti diluruskan dengan sangat hati-hati. Terlalu dipaksa akan patah, namun jika dibiarkan akan terus bengkok. Itu mungkin yang menjadi beban bagi Ayah.
Mungkin, beban berat itu juga yang membuat Ayah bersikap sangat protektif pada kami (baca:aku). Maka tak ada satu pun dari kami yang bisa memanjat pohon (padahal tak sedikit pula teman-teman sesama cewek yang pandai memanjat pohon waktu itu). Aku sendiri baru bisa naik sepeda setelah berada di kelas 3 sekolah dasar. Padahal teman-temanku yang lain sudah pandai bersepeda sejak masih berada di bangku taman kanak-kanak. Untuk bisa menaikinya hingga jalan raya pun, aku musti menunggu hingga SMP. Apalagi setelah aku bisa naik motor. Untuk bisa naik motor ke jalan raya aku musti mencuri-curi kesempatan saat Ayah tidak mengetahuinya.
Bisa dibilang Ayah adalah musuh masa kecilk. Yup! Dia sangat keras terhadap kami (aku). Mungkin karena aku adalah anak paling nakal di antara saudara-saudaraku. Aku punya pikiran paling kritis yang kadang justru membahayakan diriku sendiri. Maka, saat masih kecil kata “aku benci ayah” sering kutuliskan di dalam kertas dengan huruf yang masih lugu dan berantakan.
Saat mendengar aku menangis, Ayah akan sangat marah. Semakin keras aku menangis, semakin marah ia. Mungkin ini karena naluri kelaki-lakian Ayah yang benci terhadap kata lemah. Atau mungkin Ayah ingin kami semua menjadi wanita yang kuat dan tidak mudah dilecehkan, mampu membela diri kami sendiri. Entahlah, yang pasti aku yakin Ayah punya tujuan yang baik pada kami. Walaupun aku membencinya.
Saat memasuki masa awal akhil baligh, aku mulai menemukan Ayahku yang sesungguhnya. Ternyata dia adalah seorang lelaki lemah lembut yang sangat sangat menyayangi kami. Semua yang Ayah lakukan adalah usaha untuk mendidik kami. Aku tidak mau membenarkan tindakan Ayah karena hal itu memberikan trauma tersendiri bagiku. Tapi, aku tak juga mau menyalahkan Ayah. Aku masih beruntung karena Ayah hanya bertindak seperti itu saat aku masih kecil.

Coba lihat tetanggaku. Saat masih kecil dia dimanja-manja orang tuanya. Baru setelah dia masuk SMP dia dikerasi oleh Ayahnya. Itu lebih memalukan bukan? Seorang anak yang sudah SMP masih harus dipukul oleh orang tuanya. Dan dampaknya akan tampak lebih jelas lagi. Akan ada semacam pemberontakan nyata pada orang tua. Padahal pada usia itulah kami, anak-anak usia itu memerlukan kasih saying yang lebih besar pada kami.

Aku merindukan sosok Ayah. Yang diantara kekerasannya ada sisi lembut seorang wanita dalam dirinya. Bukan banci lo…Ayahku laki-laki tulen. Kadang Ayah suka menyisir atau mengucir rambut kami. Mendandani kami, dan lain-lain.

ATM Kondom

BENARKAH AKAN MENYELESAIKAN MASALAH

Sekitar setengah tahun yang lalu, ada beberapa mahasiswa masuk ke sebuah PTS di Yogyakarta. Dengan penuh percaya diri mereka mengaku sedang mengampanyekan penggunaan kondom sebagai salah satu langkah mencegah penyebaran virus HIV/AIDS. Sayangnya, ada satu kesalahan fatal yang mereka lakukan, dimana mereka menekankan pencegahan HIV/AIDS dengan menyerukan safe sex. Sebenarnya hal ini tidak terlalu menjadi masalah apabila dilakukan dengan cara yang benar. Sayangnya, cara yang dilakukan dengan mengusung spanduk ke kampus-kampus –tempat menuntut ilmu, dimana sebagian besar populasinya masih lajang.

Cara itu terkesan akan menimbulkan masalah baru. Bagaimana tidak? Safe sex bagi remaja tidak mustahil disalahartikan sebagai penghalalan hubungan sex pra pernikahan alias sex bebas.

Peristiwa tersebut hanya segelintir kisah nyata yang terjadi di lingkungan kita, namun luput dari perhatian kita. Setelah enam bulan berlalu, kini muncul fenomena baru yang justru lebih transparan karena dilakukan oleh pemerintah, yaitu ATM kondom.

Mesin penjual kondom ini dijadikan alternatif bagi pemerintah untuk mempermudah masyarakat memperoleh alat kontrasepsi, selain juga untuk menekan angka penularan HIV/AIDS melalui hubungan pernikahan. Hal ini sedikitnya tidak jauh berbeda dengan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya.

Permasalahan ATM kondom menimbulkan kontroversi masyarakat. Hal ini dirasa hanya akan menimbulkan masalah baru. Bagaimana seandainya alat ini akhirnya disalahgunakan? Begitulah kira-kira pikiran yang muncul dalam benak mereka. Selain pasangan suami-istri yang dimudahkan dalam mencari alat kontrasepsi berupa kondom, bukankah anak muda termasuk pelajar dan mahasiswa juga lebih mudah pula mendapatkannya? Bisa jadi, mereka yang dulunya masih takut-takut untuk melakukan hubungan sex pra nikah kini menjadi ‘lebih berani’ karena merasa dilegalkan. Bagaimana seandainya mereka kemudian berpikir, “Kalau ATM kondom dilegalkan, bisa jadi sex before married is also legal.”?

Hal ini bukan tidak mungkin bakal terjadi mengingat banyaknya remaja yang berpikir, adanya peraturan adalah untuk dilanggar. Bukankah maraknya kasus remaja saat ini tidak lepas pula dari hal tersebut. Apalagi, kondom bukanlah suatu jaminan untuk tidak terjadi kehamilan. Apabila pelegalan ATM kondom ini benar-benar menyebabkan maraknya sex bebas, selain moral anak bangsa dipertaruhkan, bisa pula terjadi peningkatan angka kehamilan di luar pernikahan, ketidakjelasan nasab, dan aborsi. Siapkah kita dengan resiko ini? Jika resiko lebih besar daripada manfaat yang bisa diberikan, kenapa musti kita lakukan?

Anak Angkat By: handy


Kenapa mesti sendiri? Apa memang aku diciptakan untuk sendiri? Kesendirian telah terlalu mengintimiku. Sejak lahir aku telah sendiri. Tak pernah sekalipun kulihat wajah Ayah dan Ibu. Ayah meninggal beberapa bulan setelah kehamilan ibu. Ibu? Sejak kecil aku telah menjadi pembunuh. Aku telah membunuh ibu dengan ‘melahirkanku’. Di panti asuhan pun aku tetap sendiri. Aku tak mau seorang pun berbicara padaku atau menyentuhku. Hiperbolic memang. Tapi begitulah kenyataannya.
Aku tak mau selamanya hidup dalam kesendirian. Apalagi terisolasi. Sekali terisolasi di kamar mandi, hanya 3 jam. Namun selama itu aku sudah begitu tersiksa. Aku takut sendiri, walau pada kenyataannya aku memang selalu sendiri. Hidupku terisolasi bertahun-tahun ini.

Aku tak tahu apa yang menarik dari anak tak punya kawan sepertiku. Aku tak tahu mengapa Papa dan Mama memilihku menjadi anak angkat mereka. Mengapa bukan anak-anak lain yang lebih cantik, lucu, dan telah bergaya semanis mungkin? Mengapa justru aku? Tapi yang jelas mereka sangat baik padaku. Apapun yang kuinginkan selalu terpenuhi. Sekolah hingga perguruan tinggi yang tak pernah kubayangkan, kini benar-benar nyata.

Akhirnya semua berubah sejak Mama hamil. Itu anak pertama yang lama mereka dambakan. Ya, anak pertama. Bukan anak kedua seperti yang mereka katakan. Karena aku bukan anak Papa dan Mama. Karena aku hanya anak pungut dari panti asuhan. Bukan dari rahim Mama.


Silvia menjadi adik kesayanganku. Dia menyayangiku layaknya kakak kandung sendiri. Memang begitulah yang ia tahu. Mungkin ia tak pernah menyadari, atau justru tak mau menyadari perbedaan mencolok antara kami? Kulitnya kuning sedang aku sawo matang. Dia sipit, aku tidak. Dia berbau Cina, aku berbau Jawa. Apa ia tak pernah merasa aneh? Padahal orang lain saja selalu menanyakannya.
Di keluarga ini aku tak kurang kasih sayang. Semua menyayangiku. Tapi, hanya sendiri yang ada di otakku. Apalagi bila mengingat statusku. Aku akan semakin merasa sendiri. Sayangnya, aku selalu mengingatnya.


“Dasar anak kampung! Nggak tau terimakasih. Udah dijadiin keluarga malah ngelunjak.” Silvia menggerutu di depanku hari itu.

“Kenapa, Dik?” tanyaku padanya. Selama ini hanya Silvia yang dapat membantuku melupakan kesendirianku. Dia obat sendiriku. Karena aku sangat menyayanginya. Sangat!!

“Itu Si Nova. Udah ditolong, dihidupin, eh malah nggak tau terimakasih gitu. Pacar kakaknya diembat juga. Aku kan kasihan lihat Mbak Retno jadi patah hati kayak gitu.” katanya emosional.
“Dasar! Anak angkat aja belagu!”

CRASSHH….
Seperti ada kilat menyambarku tiba-tiba. Aku serasa tertampar. Anak angkat…
Adikku memang manja. Seperti anggapan orang tentang anak terakhir. Kekanak-kanakan, egois, mau menang sendiri, tapi… kadang ia begitu sosialis. Suka merajuk dan agak centil. Aku tak mampu menolak bila ia telah merayuku. Karena aku sangat mencintainya. Tapi, benarkah kata-kata itu keluar dari mulutnya? Begitu rendahkah pandangannya terhadap anak angkat? Apa aku salah jika aku juga seorang anak angkat?

“Sudahlah. Kenapa kamu jadi sewot? Memangnya pacar kamu yang direbut? Lagipula tindakannya itu kan tidak ada hubungannya dengan status dia sebagai anak angkat.” Aku mencoba menanggapi dengan tegar, agar terlihat biasa.

“Tentu saja ada. Kalau dia sadar ama statusnya, dia nggak bakal ngelakuin tindakan semacam itu. Pokoknya sekali anak angkat ya anak angkat. Nggak tau diri!”

Silvia masih terus menggerutu. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. Aku menangis sepuas-puasnya. Ternyata, semua sudah harga mati untuk Silvia.


Malam itu Papa, Mama dan Silvia duduk di ruang tamu. Dengan sangat hati-hati Papa dan Mama menjelaskan statusku pada Silvia. Mereka menunjukkan kartu keluarga yang selalu rapi ‘disembunyikan’ darinya. Silvia tampak menitikkan airmata. Papa dan Mama meminta maaf karena tak memberitahukan hal itu sejak awal.

“Silvia sayang sama Mbak. Siapapun dia, Silvia sayang dia, Pa. Dia kakakku, Ma.” Semua menangis. Lalu hening.

“Pa, Mbak Shinta…!!” teriak Silvia tiba-tiba. Panik. Seharian aku tak keluar kamar. Silvia tentu teringat makiannya pada Novi di depanku.
Pintu digedor kuat. Tak ada sahutan. Papa mendobraknya.
“SHINTA…!!!”

Aku menangis di sudut kamar. Aku menyesal. Mengapa kuakhiri hidupku begitu cepat? Ternyata mereka sangat tulus mencintaiku. Harusnya aku tahu bahwa Tuhan ada. Menemaniku. Hingga dia memberikan keluarga ini untukku. Ah…terlanjur kuakhiri hidupku.

Yogyakarta, 25 Juli 2005

Monday, January 02, 2006

aku

emang aku udah lebih dewasa??