Monday, July 23, 2007

Poligami Sukses??

Fenomena poligami sontak menjadi bahan pembicaraan. Sampai sebagian merasa bosan, dll. Mungkin aneh jika seorang Handayani ikut membicarakan poligami. Karena 1) I’m still 19 dan belum menikah. Kedua, apa aku punya alas an untuk membahas ini?

Ok, umur bukan masalah bagi seseorang untuk belajar. Dan mengenai belum menikah, poligami bukan monopolinya orang yang sudah menikah. Toh suatu saat aku akan menikahJ. Mengenai alas an aku membahas ini…biasa: apapun yang ada di pikiran musti dituangkan. Hehehe… Pro kontra terjadi. Poligami…poligami…
Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (dalam hal-hal yang bersifat lahiriah jika mengawini lebih dari satu), maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(An Nisaa:3)

Beberapa pendapat tentang poligami yang pernah kudengar:

1. Dari dosen PAI-ku
“Kalo saya pribadi tidak setuju dengan poligami. Ayat mengenai poligami itu dulu turun ketika jaman perang. Ketika itu banyak wanita yang ditinggal mati suaminya yang pergi berperang. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan para laki-laki untuk menikahi janda-janda tersebut setelah turun ayat itu. Nah, sekarang kan keadaannya tidak seperti itu. Kemudian kalau dikatakan karena jumlah perempuan lebih banyak, yang lebih banyak itu yang sudah tua-tua. Kalau yang masih muda yang imbang-imbang saja. Kalau saya sendiri melihat poligami itu lebih banyak madharatnya, sehingga menurut saya lebih baik kalau dilarang.” (ruang kelas C.10.102)

2. Dari Wulan
“….Sekarang kalau misal kamu aja. Emang kamu mau dipoligami? Kalo aku nggak mau. Pokoknya aku nggak mau. Kalau suamiku mau poligami ya sana nikah aja. Tapi musti sama orang yang udah jelek, tua, janda, pokoknya keadaannya lebih buruk dari aku.” (sejak kapan udah nikah ukh? Kok suamiku2…hehe…)

3. Dari akhwat yang aku lupa namanya
“Aku setuju sama poligami. Tapi suamiku musti milih yang jelek, pokoknya nggak lebih cantik dari aku.”

4. Dari Anwar
“Kalau aku pilih yang netral-netral aja. Aku merasa cukup satu kok, ya udah satu aja.”

5. Dari Septyan
“Kalau aku takut nggak bias adil. Jadi aku nggak usah poligami.”

6. Dari bapakQ (hehehe…)
“Orang poligami yo nggak bias asal kok. Kan poligami itu juga ada syarat-syaratnya. Kalau merasa mampu ya silakan. Kalau yang nggak mampu kan nggak usah ribut.” J


Pendapatku:

Aku yakin segala sesuatu yang diperintahkan Allah itu pasti baik. Pasti win-win solution. Pasti tidak hanya menguntungkan satu pihak saja. Permasalahannya, kadang oknum/pelak- pelakunya yang kurang mengerti.

Kalau dikatakan poligami itu seperti kata dosenku, tapi…bukankah tidak ada larangan setelah itu? Dalam kasus nikah mut’ah, Rasulullah memperbolehkannya selama masa berperang. Namun kemudian Rasulullah melarangnya sampai hari kiamat, setelah masa perang itu selesai. Sebaliknya, dalam masalah hokum ziarah bagi kaum wanita. Rasulullah pernah melarang hal tersebut karena dikhawatirkan kaum wanita tidak dapat mengendalikan emosinya. Namun, kemudian Rasulullah memperbolehkan wanita berziarah, karena dapat mengingatkan pada kematian.

Dalam masalah poligami ini, Allah tidak menurunkan ayat Al-Qur’an yang kemudian melarangnya, dan Rasulullah juga tidak bersabda untuk melarangnya.

Kalau beliau (ibu dosen) mengatakan bahwa poligami hanya menimbulkan banyak madharat, hal ini kembali pada pelakunya. Bukankah apa yang disyari’atkan Allah tidak mungkin lebih banyak menimbulkan madharat?

Mengenai jumlah wanita yang lebih banyak, kita bias melihat data yang akurat. Aku tidak mau berpendapat.

Mengenai pilihan Anwar dan Septyan, itu sesuatu yang sangat privacy. Nah, yang menarik, tuntutan bahwa istri baru harus jelek, tua, janda, nggak cantik,….


Aku mencoba menyimpulkan:

Inti dari keberhasilan poligami bagiku ada dua hal: niat yang lurus dan keikhlasan istri. Keduanya bertemu pada satu titik: “menggapai ridlo Allah”.

Mungkin benar tidak ada dalam syari’at bahwa seorang suami harus meminta ijin istri untuk berpoligami. Namun, bukankah suatu sunnah tidak dilakukan dengan meninggalkan sunnah yang lain? Bukankah membahagiakan istri adalah kewajiban suami? Dan bukankah menyakiti istri itu “dosa”. Aku meyakini bahwa Islam adalan win-win solution bagi segala permasalahan yang muncul di dunia. Maka, mustahil aturan yang ada dalam Islam justru menimbulkan permasalahan baru.

Kemudian, benar pula jika dikatakan bahwa: “Boleh kok menikah dengan alas an suka dengan wanita lain selain istrinya.” Namun, bukankah dalam poligami dituntut adanya keadilan dari suami? Jika alas an yang digunakan adalah tergoda dengan perempuan lain saja, bagaimana seorang suami akan dapat bertindak adil terhadap istri-istrinya kalau dalam kenyataannya rasa suka itu tentu muncul karena adanya sesuatu yang dirasa lebih pada wanita lain tersebut.

Karena itulah, niat yang lurus dari seorang suami menjadi hal yang mutlak diperlukan dalam hal ini. Jika tidak, maka benar, mudharat-lah yang akan dituai dari tindakan poligami.

Mengenai keikhlasan seorang istri. Saya setuju: istri mana yang tidak ikhlas suaminya melakukan kebaikan? Apabila suami telah berhasil meluruskan niatnya, istri mana yang sanggup menolak kemuliaan niat suami? Istri mana pula yang sanggup melihat suaminya menderita dengan memperoleh istri yang tidak membahagiakan dia (buruk, jelek, tua, kudisan, dll hehe…), sedangkan perasaan cinta telah tumbuh padanya? Apakah akan berbeda rasanya melihat suami bersama wanita yang cantik atau bersama wanita yang buruk? Bukankah sama saja?

Keikhlasan seorang istri akan muncul dengan sendirinya ketika dia merasa “aman” dengan apa yang dilakukan suaminya. Bias jadi, penolakan istri menjadi sesuatu yang benar, ketika dia tau hal tersebut tidak membawa kebaikan bagi semua pihak, termasuk istri barunya. Misal karena istri mengetahui suami tidak berniat karena Allah (bukan tidak mungkin bila hati keduanya telah terpaut).

Keikhlasan menyebabkan seorang istri tidak mempermasalahkan apakah “dia” lebih baik atau lebih buruk dari dirinya. Apa gerangan yang menyebabkannya? Karena jauh di dalam hati dia meyakini: bukan hal tersebut (fisik) yang dicari oleh suaminya. Hal yang sangat sulit bagi keduanya…namun, itulah yang membuahkan surga.

Terlepas dari apakah poligami itu sunnah, haram, dan sebagainya…tergantung dari seperti apa poligami yang dilakukan. Seperti halnya menikah, menjadi wajib ketika ditakutkan pasangan tidak dapat menjaga diri dari zina. Namun, menjadi sunnah ketika semua persyaratan terpenuhi untuk menikah. Menjadi makruh bila laki-laki telah baligh, namun belum bisa menafkahi istri, dll. Poligami sunnah ketika …, dan dapat menjadi makruh atau haram ketika…(mari kita pelajari).

Maka, kembali pada penyimpulan: Inti dari keberhasilan poligami bagiku ada dua hal: niat yang lurus dan keikhlasan istri. Keduanya bertemu pada satu titik: “menggapai ridlo Allah”.



Sebuah dialog yang pernah terbaca olehku ttg poligami:

Suami: istriku, aku ingin dengan “ini” kau bisa memperoleh keikhlasan yang berbuah surga. Kau tahu kan, surga itu sesuatu yang sangat mahal?

Istri: suamiku, bagaimana mungkin kau akan ‘memberikan’ surga padaku, sementara kau tidak memperolehnya? Kau memintaku melakukan semua ini karena Allah, sedangkan kau sendiri tidak.
(enakan ke surga bareng-bareng yak…hehehe…)

Yogyakarta, 17 Jan ‘07
SH Yani

No comments: