Monday, November 05, 2007

Pengaruh Negatif Media pada Pertumbuhan Bayi, Anak-anak, dan Remaja

Peluang Masuknya Pengaruh Media pada Bayi, Anak-anak, dan Remaja

Avam Noam Chomsky terkenal sebagai linguis dari masa pertengahan hingga akhir abad ke-20. Karya fundamentalnya yang berjudul ‘Syntactic Structures’ telah membawanya menjadi revolusioner dalam bidang bahasa (linguistik). Teorinya yang juga fundamental adalah Generative Grammar, Transformational Grammar, dan Universal Grammar.

Selain itu, sumbangan pemikiran Chomsky yang lain adalah pernyataannya bahwa ‘bayi dan anak-anak mempunyai kemampuan alami dalam hal penguasaan bahasa mereka sehari-hari”. Penguasaan bahasa ini yang menjadi ‘aset’ kecerdasan linguistik seseorang saat memasuki masa dewasa. Mereka (baca: anak-anak) mempunyai kemampuan luar biasa dalam menghafal kosakata, melebihi orang dewasa. Sumbangan pemikiran Chomsky tersebut layak diimplementasikan dalam pengelolaan proses perkembangan anak selanjutnya.

Mengenai tahap-tahap perkembangan, Elizabeth B. Hurlock menerangkan ciri-ciri masa bayi sebagai masa dasar yang sesungguhnya. Masa bayi juga merupakan masa di mana pertumbuhan dan perubahan berjalan dengan pesat. Sebagai efeknya, masa ketergantungan bayi terhadap bantuan orang lain menjadi berkurang. Mereka akan berusaha melakukan apa yang sudah dapat mereka lakukan sendiri tanpa bantuan orang lain, karena mulai munculnya rasa tidak suka untuk ‘diperlakukan seperti bayi’. Masa bayi merupakan masa yang menarik dan menjadi permulaan sosialisasi serta kreativitas. Perkembangan emosi pada masa ini dapat lebih dibiasakan dari pada masa anak-anak, remaja atau dewasa. Masa ini berlangsung dari minggu kedua pasca kelahiran hingga usia dua tahun. Selain itu, Hurlock juga tidak melupakan bahwa masa bayi adalah masa yang berbahaya.

Tahapan selanjutnya adalah masa kanak-kanak. Dalam masa ini, kata Bruner, bermain menjadi ‘kegiatan yang serius’. Hurlock sendiri menggambarkan bahwa masa awal kanak-kadang sering disebut sebagai tahap mainan karena semua permainan menggunakan mainan. Menjelang akhir masa awal kanak-kanak, minatnya untuk bermain dengan mainan mulai berkurang dan ketika ia mencapai usia sekolah mainan-mainan itu dianggap seperti “bayi” dan ia ingin memainkan permainan-permainan “dewasa”. Kita tentu mengingat kala sebagian dari kita mencoba memainkan peran guru, dokter, insinyur, atau bahkan petani pada masa ini.

Masa bayi dan masa kanak-kanak adalah suatu yang menarik tidak hanya bagi bayi dan anak-anak itu sendiri, namun juga bagi remaja dan orang dewasa. Setelah masa ini berakhir, maka seorang anak akan memasuki masa puber yang bisa terjadi usia yang tidak sama antara anak yang satu dengan yang lainnya. Masa puber ini berlangsung cukup singkat dan menjadi masa peralihan antara masa akhir kanak-kanak dan masa awal remaja. Setelah terjadi kematangan seksual, maka ‘anak puber’ akan memasuki masa remaja atau remaja muda.

Masa remaja disebut juga dengan masa pencarian jati diri. Pada masa ini, seorang anak mulai terbiasa dengan berbagai perubahan fisik dan mental yang terjadi selama masa puber. Selain itu, seseorang mulai menemukan minat yang kuat pada hal-hal tertentu, misal pada agama, sosial, atau kegiatan-kegiatan seni, dsb. Pada masa ini, ketertarikan pada seks mendapat porsi tersendiri. Dorongan untuk melakukan pembentukan hubungan-hubungan baru dengan lawan jenis datang dari tekanan-tekanan sosial, terutama dari minat remaja pada seks dan keingintahuannya terhadap seks. Selanjutnya, remaja mencoba untuk memenuhi keingintahuan tersebut dengan mencari lebih banyak informasi. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa hanya sedikit remaja yang mendapat informasi seks dari orang tuanya sendiri atau sekolah. Kebanyakan remaja justru memperoleh pengetahuan dari pergaulan, majalah, televisi, atau buku.

Setelah mengetahui tahapan-tahapan tersebut, dapat dilihat di mana sebenarnya peran media –baik cetak maupun elektronik- dalam menimbulkan ‘budaya baru’ dalam kehidupan manusia. Celah-celah kecil yang ada pada setiap tahap perkembangan manusia adalah lahan empuk yang gampang ditembus oleh kekuatan media.

Seks dan Kekerasan di Tangan Media

Jauh sebelum media komunikasi dan informasi semacam televisi, komputer, telepon seluler, dan sebagainya merambah suatu negara, masalah seks dan kekerasan telah berkibar-kibar. Dalam perjalanan hidup manusia purba ala teori Darwin pun (yang walau banyak disangsikan namun masih saja menjadi dasar sejarah), ada suatu masa di mana para manusia purba saling membunuh untuk berebut tempat tinggal atau makanan. Dalam sejarah kerajaan pun, adanya selir-selir yang tak terhitung jumlahnya setelah satu permaisuri menunjukkan bahwa masalah seks kala itu masih menjadi hal yang menarik. Bahkan, Helvy Tiana Rossa dalam satu edisi majalah Ummi mengemukakan bahwa tema seks tetap menjadi tema yang menarik sepanjang masa.

Pascapemilu tahun 1955, keadaan politik yang memanas justru menimbulkan satu perubahan tersendiri dalam dunia penerbitan majalah di Indonesia. Ketika itu lah masyarakat haus akan ‘bacaan hiburan’ ‘pelepas lelah’. Orang mulai mengemari bacaan yang mengandung unsur-unsur kecabulan, ketegangan, detektif spionase dan sejenisnya (Kurniawan Junaedhie, Rahasia Dapur Majalah di Indonesia:1995). Hal ini dilukiskan sebagai masa yang lumrah pasca perang oleh Dr. R. Roolvink.

Berawal dari masa itulah muncul majalah-majalah hiburan seperti Drama dan Sensasi, Artis, Bikini, Genit, Ultra, dan sebagainya. Setelah masa itu, beruntun muncul lah majalah wanita, majalah khusus pria dewasa, majalah remaja putri, majalah remaja putra, dan majalah anak-anak.

Sekarang, perkembangan media informasi dan komunikasi semakin meluas. Sarana informasi bertebaran di mana-mana. Di satu sisi, tidak dapat disangsikan lagi keurgenan media ini. Namun, jika tidak hati-hati hal ini justru akan menimbulkan masalah baru.

Kemunculan majalah-majalah seks baik yang berdalih sebagai bahan ‘hiburan’ maupun ‘sarana pendidikan’ atau ‘media kebebasan’ kini semakin mekar. Tampilan seks dan kekerasan tidak hanya dapat dilihat di ‘majalah porno’ saja, namun juga dapat diakses di internet, televisi, bahkan ‘ditenteng’ secara pribadi dalam folder telepon genggam.

Terkait dengan ini, masalah yang sama dari dulu hingga sekarang masih saja bergulir. Batasan pornografi dan seni yang menurut sebagian orang kurang jelas misalnya, dapat dilihat dari ungkapan redaksi Maskulin sebagai reaksi atas teguran keras Deppen pada tahun 70-an berikut:

“Ah, bukan maksud kami untuk menyebarkan pornografi, bukan tujuan kami untuk merangsang birahi atau kejijikan pembaca. Karena bagi kami apa yang disebut pornografi itu batasannya masih kabur, dan efeknya pun dipengaruhi oleh berbagai fakta, yaitu obyek, subyek, dan situasi yang mewarnai keduanya. Itu menurut kami, yang belum tentu disetujui pihak-pihak lain. Dan karena itu pula jalan yang kami tempuh tidak selamanya nyaman...” (pernyataan redaktur majalah Maskulin dalam buku Rahasia Dapur Majalah di Indonesia karya Kurniawan Junaedhie)

Selain perbedaan persepsi tersebut, masalah yang lain yaitu adanya ‘perang’ antara idealisme dan ‘bisnis’ dalam diri media itu sendiri. Sebagai contoh, ketika kasus ‘plagiatisasi’ film-film korea oleh produser-produser film Indonesia Indonesia, muncul pernyataan dari pihak Production House semisal “Walaupun sudah tahu kalau film itu ‘diadopsi’ dari luar negeri, toh masyarakat tetap suka kok. Justru rating-rating film seperti itu yang tinggi. Mau apalagi?”

Walaupun di satu sisi ada pihak-pihak yang merasa sangat resah atas tayangan-tayangan televisi, pada kenyataannya ada pihak lain yang sangat menyukainya dan terus menontonnya. Di mata media, di satu sisi ada sebuah idealisme yang coba mereka usung, namun beban hidup mengatakan bisnis adalah hal yang patut diperhitungkan. Ke mana saya (baca: media) harus melangkah?

Mereka dalam Cengkeraman Pengaruh Media

Seperti telah disebut sebelumnya, masa bayi, kanak-kanak, dan remaja di samping merupakan masa yang menarik bagi setiap orang, juga merupakan masa yang berbahaya. Kesukaan mereka meniru dan rasa ingin tahu mereka yang besar mempunyai potensi yang sama untuk mengarah secara positif maupun negatif.

Banyak ahli psikologi juga menyatakan bahwa masa-masa bayi dan kanak-kanak adalah masa emas. Bijou mengatakan,

“Banyak ahli psikologi anak mengatakan bahwa tahun-tahun prasekolah, sekitar dua sampai lima tahun, adalah salah satu tahapan yang penting. Kalau tidak yang paling penting dalam seluruh tahapan perkembangan dan analisis fungsional. Tahapan itu juga berkesimpulan yang sama. Periode itu adalah periode di mana diletakkan dasar struktur perilaku yang kompleks yang dibentuk di dalam kehidupan seorang anak.” (Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya “Psikologi Perkembangan”)

Hurlock juga menambahkan bahwa pada masa-masa bayi terjadi berbagai peristiwa yang pada masa kanak-kanaknya akan berkembang membentuk kepribadiannya. Lalu, apa hubungan hal ini dengan iklan, tayangan, atau tampilan di berbagai media?

Bagi anak-anak, kegiatan menonton televisi bisa jadi merupakan satu keharusan. Bahkan, ada anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi. Dengan begitu, iklan, tayangan dan tampilan pada media pun bisa menjadi salah satu model bagi bayi dan anak-anak.

Sebagai contoh, tidak lama setelah perayaan Idul Fitri seorang ibu terkejut melihat anaknya menangkupkan tangan dan menundukkan kepala di depan televisi. Setelah diselidiki, ternyata tayangan di televisi menunjukkan seseorang sedang melakukan hal yang sama sambil mengucapkan “selamat hari raya Idul Fitri. Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.” Dari kasus ini, secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa perilaku meniru merupakan kebiasaan yang sudah muncul sejak masa bayi.

Kalau kita menilik kembali, ada banyak kasus yang terjadi pada anak-anak berkaitan dengan pengaruh media. Misalnya, kekerasaan pasca menonton acara smackdown atau bahkan setelah memainkan tokoh playstation, perkosaan pada remaja atau kasus-kasus pedofilia setelah menyaksikan video porno, bahkan ada pula anak gantung diri karena ingin meniru apa yang disaksikan di televisi. Hal ini menjadi satu bukti bahwa anak (bahkan) mempunyai kecenderungan untuk meniru hal-hal yang bersifat ‘membahayakan’ –baik secara fisik atau mental- dikarenakan rasa ingin tahunya itu tanpa mempertimbangkan apakah hal itu berpengaruh pada dirinya atau orang lain. Anak-anak seperti ini lah yang oleh ASA (The Advertising Standard Authority) disebut sebagai ‘copycat kids’ dan mempunyai potensi besar untuk terpengaruh oleh media.

Selain itu, banyak pula kasus-kasus yang kemudian ‘popular’ justru setelah marak diekspos di televisi. Misalnya, merebaknya budaya barat karena pengaruh film-film maupun tayangan-tayangan remaja lainnya, ‘secara sangat perlahan’ juga memopularkan seks bebas, aborsi, dan lain-lain.

Bahkan, sebenarnya pengaruh media masih mengenai orang dewasa. Salah satu contoh, merebaknya kasus perceraian setelah gencarnya pemberitaan tentang kawin-cerai artis. Jika orang dewasa terpengaruh, lalu bagaimana dengan anak-anak yang pola pikirnya belum dapat berkembang secara sempurna?

Walau bagaimana pun, iklan juga merupakan salah satu sarana “modeling” bagi anak-anak. ASA memberikan contoh, salah satu iklan Nissan yang memperlihatkan seorang laki-laki berbaring sambil memegang setrika di atas tubuhnya. Hal ini bukan merupakan hal yang berbahaya bagi orang dewasa atau remaja, namun tidak demikian pada anak-anak.

Dalam menyikapi masalah iklan ini, pemerintah Cina sudah melakukan tindakan dengan melarang semua iklan “yang menjurus pada seks” di televisi dan radio, seperti iklan pil kesehatan yang berkaitan dengan seks serta mainan seks, iklan-iklan vulgas seperti operasi membesarkan buah dada dan pakaian dalam wanita juga dilarang. Larangan ini dikeluaran karena iklan-iklan itu “merusak secara sosial”. Disebutkan dalam selebaran-selebaran yang dibagikan, iklan-iklan tersebut menggunakan bahasa yang menjurus atau wanita-wanita yang berpakaian minim “mengganggu masyarakat”.

Bagaimana Indonesia menyayangi anak b

Acara Bolos Itu

Aduh, handa bingung dapet teror sms, miscall, comment...

Dengan pertanyaan yang sama: “Handa/Yani, ngapain gak kuliah? Kamu di mana? Kamu ada masalah ya? Cerita dong...”

Ada cerita ttg si ian septian.

Kemarin di pusat komputer dia nyapa aku, “eh Handa, numpang ganggu bentar, aku mau transfer data. Ngantrine kesuwen!”

“silakan,”

sampe 2 kali dia bolak-balik komputerku.

“Aku abis g masuk seminggu, jadi bingung. Nggak nyambung gini.”

“Iya to? Aku jg udah g masuk lima hari. Jangan-jangan ntar aku jg.”

“Hehehe...”

Terakhir, hari ini kayanya temen-temen sekelas sepakat buat sms aku rame-rame:)

“Assalaamu’alaikum. Yan, what’s wrong w/U?why dn’t u come in class?Allah selalu mberiKmudahan dl stp ksulitan. Stp masalah psti da solusix. So, where’re u?pyKbrmu?” :kelas.isti

Walah...pasti dikira karena ‘masalah itu’. Masalah itu nggak bakal bikin aku ampe g berangkat kul ko...tenang wae Ty...

“Yan, km lg dmna? Knp g pnah kul to? Lagi ad masalah y? Crta dunk...Eh brusan dcari pak tia, ktnya ttg tulisan yg bwt kreativa..”: kelas.ayu

“Assalaamu’alaikum mbh yani. Mbh yani kok g pernah masuk kul sih? Ato ada apa? cucumu kangen neh hehe...kapan masuk kul mbah? Bls y...:)”

Aduh pengin nangis....:(((

Iya iya....gmn sih?

Buang Penghalang, Terus lah Berjalan

Oleh: Ukhti_Kecil

Sebenarnya apa yang menghalangimu berjalan? Baiklah, saya yang dulu (sedikit) introvert dan terbiasa menentukan apa-apa sendiri (kecuali urusan dengan Bapak), tiba-tiba harus (mau tidak mau) terbiasa untuk terbuka.

Hm, saya pikir sudah cukup bisa mengatasi ini sejak sekolah menengah, sejak mengenal seorang sahabat yang cuek tapi perhatian, cerewet, lucu, dan yang pasti sangat terbuka (bahkan sering cerita yang nggak penting dan ‘ngangeni’). Dialah Ismi :)

Awalnya saya pikir begitu. Tapi nyatanya, bibit-bibit karakter asli saya tidak bisa dihilangkan atau bahkan disembunyikan. Ingat beberapa momen heroik yang sudah saya jalani. Mengelola TPA (walau berjalan sangat sebentar), mengumpulkan teman-teman KIR, hingga mendaftar perguruan tinggi. Semua ‘sendiri’ (dalam arti teknis: pelaksanaan, bukan pada keseluruhan proses). Kali ini, saya merasa nyaman menyelesaikan ‘gencatan senjata’ sendiri. Hei,,,ini hanya sebuah penghargaan yang coba saya berikan untuk kerja keras ‘kontingen’ saya. Mereka (jiwa dan raga saya) yang telah berjuang, berhak untuk mendapatkan sedikit sanjungan dari diri saya sendiri.

Well, honestly... i start to be affraid. Benarkah itu yang kemudian disebut ‘tegar’, ‘kuat’, ‘heroik’, ‘fightful’, dsb? Atau jangan-jangan bibit-bibit individualis dan perfeksionis justru berawal dari situ?

Saya terbiasa punya standard sendiri untuk ‘pekerjaan’ yang saya jalani. Tapi tidak ketika saya berada dalam apa yang disebut ‘jamaah’. Ada kepentingan umum yang sudah ada standardnya di sana. Dan saya (mau tidak mau) harus mengikuti standard bersama yang –Insya Allah- juga untuk kepentingan bersama itu.

Namun, itu bukan berarti standard pribadi ‘dikekang’. Ada standard pribadi yang musti dijaga untuk membuat kita kukuh di jalan ini, yang menjadi prinsip gerak pribadi di tengah komunitas tersebut. Dan di sinilah si hamba dhoif ini mulai bimbang.

Ketika aku berkata: perfeksionis, lalu ada orang yang bertanya, “perfeksionis” itu baik atau buruk? Jawab sendiri saja dengan membaca ini.

- perfectionist: a person who tries to get every detail correct and is not satisfied with anything less than perfection.

- Perfection: 1) the state of being perfect; absence of faults, 2) the highest state or quality possible, 3) the process of improving sth so that it becomes p’fect.

- Perfect: satu pengertian yang paling dekatà ideal.

Jadi, ternyata perfek di mata perfeksionis adalah ideal, bukan excellent.

Mengenai standard pribadi yang saya miliki, selama ini tidak ada masalah. Namun, mau tidak mau saya harus cepat menyadari bahwa ukuran sepatu saya tidak lah sama dengan ukuran sepatu orang lain. Masih ingat cerita sepatu kaca? Sang pangeran tidak menemukan pemakai sepatu yang pas selain si pemilik sepatu itu sendiri, si putri cantik Cinderella.

Begitu pula ‘nasib’ standard yang saya ciptakan untuk diri sendiri. Itu hanya dapat saya terapkan pada diri saya. Orang lain punya standard sendiri dengan pertimbangan yang berbeda.

Jadi...pertama, saya harus sadar dan mengakui adanya ‘standardisasi’ itu. Kedua, saya harus lebih sadar bahwa orang lain punya standard sendiri seperti halnya saya. Ketiga, menyadari bahwa kekuatan baja orang lain bisa jadi kapas jika diterapkan pada diri saya, begitu pula sebaliknya. Keempat, sadar bahwa diri ini adalah makhluk spesial yang perlu perawatan khusus dengan terapi yang pas untuk diri sendiri. Unik dan beda dari yang lain. Jadi, ada saat untuk berdiri setegar karang tanpa takut mengecewakan orang lain, merasa bersalah, dsb.

I almost get the answer.