Monday, July 23, 2007

Kerja Tanpa 2J: Jilbab dan Jenggot

Seingatku, baru sekali aku ketiduran sambil duduk di depan meja belajar. Ketika setengah terbangun, ternyata ibuku sudah duduk di atas tempat tidur.

“Yan, tadi ibu ditawari katanya ada kerjaan di XX. Tapi kalau orangnya pake jilbab kaya kamu mungkin nggak diterima. Apa di tempat Mbak X aja. Tapi di sana juga nggak terima orang pake jilbab kaya kamu.”

Uuuh…aku nggak tahu harus bilang apa. “Maaf …” batinku. Aku diam dan pura-pura tertidur lagi, masih di kursi. Akhirnya ibu keluar kamar. Ya Allah maafkan aku…


Aku tidak pernah menyangsikan bahwa kesuksesan itu dicapai dengan merambat sedikit demi sedikit. Aku juga tidak berpikir bahwa untuk bias mencapai kesuksesan itu, aku harus menjadi seorang sarjana terlebih dahulu. Banyak orang sukses tanpa gelar. Ya, aku tahu dan aku sangat percaya itu.

Tapi aku toh ingin kuliah dulu. Ibaratnya, ingin menjadi cangkir cantik yang harus ditempa dengan proses, yang panjang, rumit, berat, dan kadang ‘menyakitkan dulu. To be more moture. Mungkin karena pengaruh ego yang gede juga…atau idealisme (mumpung idealisme masih kuatJ).

Aku merasa terhina jika harus bekerja dengan membuka jilbab sebagai persyaratannya. Mungkin, seperti barang pajangan rasanya, atau seperti muncul perasaan bahwa otak dengan segala ilmu di dalamnya ini tidak lagi berguna, hanya digantikan dengan tampilan fisik belaka. Apa bedanya berjilbab dengan tidak bagi sebuah pekerjaan, kecuali sesuatu yang bersifat fisik? Maksudku, apakah dengan tidak berjilbab kemudian kemampuan seseorang akan bertambah tinggi?


Membaca cerita paska lulus kuliah milik seseorang di milis yang berjuang keras mempertahankan jenggotnya, saya tercengang. Ternyata laki-laki juga mengalami hal yang sama, saya piker hanya wanita saja yang mengalaminya.

Ya, salah kaprah namanya. Seharusnya, bukan muslim yang harus memaklumi aturan mereka (employer). Namun mereka yang mempekerjakan muslim harusnya lebih memahami kita. Bukankah kita hidup di negara berpenduduk mayoritas muslim? Kenapa kita harus ‘tertindas’ di area kita sendiri?


Ya, diskriminasi masih terus terjadi dalam dunia bisnis. Kadang kesuksesan berbisnis (baca: minimal mendapatkan pekerjaan) dicapai dengan sesuatu yang tidak semestinya. Pemilik uang, orang-orang yang mau melepaskan ideologinya, yang mempunyai jenjang pendidikan yang tinggi, masih memenangkan persaingan tersebut. Kadang kemampuan seakan tertutup di balik kenyataan itu. Bukan tidak mungkin bahwa ketidakprofesionalan dimulai dari sini.

No comments: