Tuesday, January 10, 2006

Ayah...


Punya empat orang anak perempuan tentu menjadi suatu anugerah, sekaligus beban berat buat Ayah. Kenapa? Karena itu berarti ayah harus menanggung enam orang perempuan di rumah. Ibuku, aku, ketiga kakakku dan Simbahku. Tahu sendiri kan? Yang namanya perempuan itu musti dijaga baik-baik agar menjadi baik. Istilahnya, perempuan itu terbuat dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok. Jadi, musti diluruskan dengan sangat hati-hati. Terlalu dipaksa akan patah, namun jika dibiarkan akan terus bengkok. Itu mungkin yang menjadi beban bagi Ayah.
Mungkin, beban berat itu juga yang membuat Ayah bersikap sangat protektif pada kami (baca:aku). Maka tak ada satu pun dari kami yang bisa memanjat pohon (padahal tak sedikit pula teman-teman sesama cewek yang pandai memanjat pohon waktu itu). Aku sendiri baru bisa naik sepeda setelah berada di kelas 3 sekolah dasar. Padahal teman-temanku yang lain sudah pandai bersepeda sejak masih berada di bangku taman kanak-kanak. Untuk bisa menaikinya hingga jalan raya pun, aku musti menunggu hingga SMP. Apalagi setelah aku bisa naik motor. Untuk bisa naik motor ke jalan raya aku musti mencuri-curi kesempatan saat Ayah tidak mengetahuinya.
Bisa dibilang Ayah adalah musuh masa kecilk. Yup! Dia sangat keras terhadap kami (aku). Mungkin karena aku adalah anak paling nakal di antara saudara-saudaraku. Aku punya pikiran paling kritis yang kadang justru membahayakan diriku sendiri. Maka, saat masih kecil kata “aku benci ayah” sering kutuliskan di dalam kertas dengan huruf yang masih lugu dan berantakan.
Saat mendengar aku menangis, Ayah akan sangat marah. Semakin keras aku menangis, semakin marah ia. Mungkin ini karena naluri kelaki-lakian Ayah yang benci terhadap kata lemah. Atau mungkin Ayah ingin kami semua menjadi wanita yang kuat dan tidak mudah dilecehkan, mampu membela diri kami sendiri. Entahlah, yang pasti aku yakin Ayah punya tujuan yang baik pada kami. Walaupun aku membencinya.
Saat memasuki masa awal akhil baligh, aku mulai menemukan Ayahku yang sesungguhnya. Ternyata dia adalah seorang lelaki lemah lembut yang sangat sangat menyayangi kami. Semua yang Ayah lakukan adalah usaha untuk mendidik kami. Aku tidak mau membenarkan tindakan Ayah karena hal itu memberikan trauma tersendiri bagiku. Tapi, aku tak juga mau menyalahkan Ayah. Aku masih beruntung karena Ayah hanya bertindak seperti itu saat aku masih kecil.

Coba lihat tetanggaku. Saat masih kecil dia dimanja-manja orang tuanya. Baru setelah dia masuk SMP dia dikerasi oleh Ayahnya. Itu lebih memalukan bukan? Seorang anak yang sudah SMP masih harus dipukul oleh orang tuanya. Dan dampaknya akan tampak lebih jelas lagi. Akan ada semacam pemberontakan nyata pada orang tua. Padahal pada usia itulah kami, anak-anak usia itu memerlukan kasih saying yang lebih besar pada kami.

Aku merindukan sosok Ayah. Yang diantara kekerasannya ada sisi lembut seorang wanita dalam dirinya. Bukan banci lo…Ayahku laki-laki tulen. Kadang Ayah suka menyisir atau mengucir rambut kami. Mendandani kami, dan lain-lain.

No comments: