Monday, December 26, 2005

For My Beloved Beautiful Wife!!


Kelas 2 SMA
Perasaan itu tumbuh sedikit demi sedikit. Aku tidak bisa berbohong lagi bahwa aku mencintainya. Mungkin sangat mencintainya. Entahlah, aku sendiri merasa aneh. Setelah 16 tahun aku menjadi temannya, aku baru merasakan hal ini sekarang. Padahal, setiap hari aku bertemu dengannya.

Hari ini, aku benar-benar, 100 % menyadarinya. Dia wanita yang sempurna. Cantik, cerdas, modern,…apa yang kurang darinya? Excellent. Aku ingat betul kata-kata guru bahasa Inggrisku tadi siang.

"What men look for in a partner? First, physical attractiveness. Then, warm and affection, social skills, homemaking ability, fashion sense and sensitivity."
Itu pendapat laki-laki Amerika Utara. Tapi, boleh kan aku mengangankan wanita seperti itu juga?

Kalau dipikir-pikir, apa yang tak ia punya? Ia cantik, body-nya OK, lemah lembut, dan pintar bergaul. Sebagai temannya aku juga cukup tahu kalau dia pandai mengurus rumah. Aku kan sering bermain ke rumahnya. Soal fashion, cewek mana yang tak kagum dan ingin meniru dia? Dia itu trendsetter. Dan yang pasti dia sangat peka terhadap perasaan orang lain. Dia itu seorang psikiater buatku. Satu lagi yang perlu kutambahkan, dia itu pintar dan berwawasan luas. Sekretaris OSIS, juara parallel, presentasi sempurna, dan percaya diri yang tinggi. Cowok mana yang tak tertarik padanya?

Dan sejak kelas 2 SMA ini aku merasakan perasaan aneh itu. Yang kuyakini sebagai cinta. Ya, aku yakin sekali inilah cinta yang sesungguhnya. Cinta sejati yang hanya akan kurasakan sekali saja. Aku setengah yakin bahwa Niken, gadis Jogja yang sangat modern, teman mainku sejak kecil itu adalah cinta pertama dan akan jadi yang terakhir buatku.

Minggu kedua Bulan Januari, Sembilan tahun kemudian…
"Kamu ini mau istri yang seperti apa to’ Le? Lihatlah umurmu, sudah 25. Apa ndak kepikir untuk cari istri yang baik buat kamu?"

Ah…awalnya aku cukup merah kuping waktu mendengarnya. Entah sudah berapa kali Simbok menanyakan hal ini padaku.

"Simbok itu kuno. Jaman sekarang laki-laki menikah umur 30 tahun saja biasa. Kenapa aku yang baru berumur 25 tahun musti kesusu?" bisik batinku. Tapi, di depan Simbok aku tetap diam saja.

"Kamu itu kurang apa to, Le? Kuliah sudah lulus, kerja yo wis mapan. Nunggu apa lagi?"
"Nunggu calon, Mbok." Jawabku sekenanya. Padahal sebenarnya aku pun tak tahu apa yang kutunggu.
"Calon itu jangan ditunggu. Kamu itu lanang, Le. Musti nyari."

"Iya, Mbok." Malas-malasan aku memenangkan Simbok.
Percakapan itu cukup mengusikku juga rupanya. Mau tak mau aku tak bisa tidur malam ini. Sempat muncul bayang-bayang Niken di otakku. Apa mungkin dia? Tapi, bukankah sejak kuliah dulu, dia sudah mulai berubah? Dia tak lagi menghiraukanku. Ah…lalu, apa aku musti mengakhiri masa lajangku secepat ini? 25 tahun?

Astaghfirullah!!! Aku terhenyak pada bilangan itu. Aneh, aku baru sadar, padahal sudah sejak tadi aku memikirkannya. 25 tahun…bukankah Rasulullah juga menikah di usia itu? Aku sudah tidak muda lagi rupanya. Ah…aku bersikeras untuk tidak memikirkannya dulu. Mungkin, mending aku baca buku saja dari pada terus terusik. Aku asal buka-buka buku yang ada di depanku. Dan…

"Wahai para pemuda, jika salah seorang di antara kalian sudah mempunyai kemampuan, hendaklah segera menikah…"

Astaghfirullah!!!

Minggu ketiga bulan Januari
Hari ini juga kuputuskan untuk memberitahu Simbok tentang perasaanku pada Niken. Awalnya Simbok menolaknya mentah-mentah, dengan alasan kami ini orang miskin. Pekerjaanku sebagai staff redaksi di sebuah majalah islami -yang kata Simbok sudah mapan- itu pun ‘tak level’ untuk priyayi macam keluarga Niken. Aku terus membujuk Simbok. Aku yakin, Niken memang jodohku. Dan untungnya, Simbok luluh juga.

Ternyata keluarga Niken tak segarang apa yang ada dalam bayangan kami. Intinya, mereka menerima lamaran itu. Niken juga. Ah…bungah rasanya membayangkan punya istri sesempurna Niken. Apa kata teman-teman kantor nanti?

"Wah…istrimu cantik banget. Pinter banget. Rumahmu rapi banget…"
Serba banget pokoknya. Bawaannya orang lagi seneng mungkin ya?
Sekarang, masalahnya hanya mencari mahar untuk Niken. Aku sempat terhenyak ketika mendengar tujuh digit angka tersebut. 9.999.999 rupiah??

"Angka 9 itu kan paling gedhe. Jadi, itu bukti cinta Mas Handoko yang paling gedhe untuk saya, Budhe. Kalau Mas Handoko benar-benar mencintai saya, saya rasa ini bukan masalah." Kata Niken waktu itu, langsung di depanku dan Simbok. Aku tak habis pikir. Bukankah wanita yang paling baik itu yang paling murah maharnya? Kenapa Niken justru meminta mahar sebanyak itu? Lalu, dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Tapi, apa aku musti menawar mahar?

Ah…pusing rasanya. Mau nikah saja kok susah. Aku tidak ingin proses ini terlalu lama. Tapi, mahar sebanyak itu mana bisa aku dapatkan dalam waktu dekat ini?

Bahkan, belum aku berhasil mendapatkan uang sebanyak angka tujuh digit itu, aku sudah dibuat shock lagi oleh keluarga Niken. Mereka tiba-tiba membatalkan penerimaan lamaran. Hanya Karena aku meminta Niken untuk memakai jilbab saat pernikahan dan sesudahnya.

"Mau kawin kok ngatur-ngatur. Mas kawin saja belum kelihatan sudah minta yang aneh-aneh." Begitu kabar yang aku dengar telah menyebar dari mulut ke mulut, mengenai tanggapan keluarga Niken.

Bisa dibilang aku frustasi. Niken sendiri menolak mentah-mentah permintaanku itu. Saat itu pula aku sadar, banyak hal yang tak kuketahui tentang Niken. Persahabatan kami selama ini bukan jaminan untuk mengetahuinya lebih dekat lagi. Dan, bukan hanya aku yang malu. Simbok pasti lebih malu lagi, karena Simbok yang lebih banyak bergaul dengan tetangga kami. Aku tidak tega. Tapi, mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi. Kami hanya bisa menghadapinya saja.

Bulan Maret, minggu kedua
Sudah sebulan berlalu sejak penolakan itu. Aku memutuskan untuk tidak terlalu pusing memikirkannya. Walaupun para tetangga masih suka menggunjing kami ataupun keluarga Niken. Aku tidak peduli. Sekarang aku ingin lebih terfokus untuk belajar terlebih dahulu. Mungkin, semua itu terjadi karena aku terlalu terburu-buru.
Tapi, belum lama aku memutuskannya, malam ini aku bermimpi sesuatu.

"Mbok, aku mimpi disuruh menemui Pak Ustadz Fachrozi, yang ngajar ngaji waktu kuliah di kampus dulu. Kira-kira ada apa ya, Mbok?" tanyaku pada Simbok.
"Coba kau temui saja. Mungkin itu petunjuk dari Gusti Alloh, Le."

Singkat cerita, kutemui Ustadz Fachrozi di rumahnya. Kuceritakan perihal mimpiku pada Ustadz, tak lupa kabar pembatalan pernikahanku dengan Niken.

"Yah…kita ambil hikmahnya saja, Ko. Justru dari situ kan, kita bisa tahu apa pentingnya ‘perhiasan dunia yang paling indah itu’? Wanita sholehah. Tidak perlu disesali. Bukankah laki-laki yang baik itu untuk wanita yang baik pula? Dan sebaliknya. Jadi, kalau kamu yakin kamu itu baik, jangan pernah ragu dengan janji Alloh. Dan ingat, apa yang kita cintai di dunia, belum tentu dicintai olehn-Nya. Tapi yakinlah, Allah pasti tahu apa yang terbaik untuk kita."

Aku mendengarkannya dengan seksama. "Terimakasih, Ustadz." Lega rasanya setelah aku berbincang dengan Ustadz Fachrozi. Dulu waktu di kampus, beliau memang idola anak-anak. Dekat pula dengan mereka, termasuk aku. Dari beliau pula aku mulai belajar untuk tidak terfokus pada Niken, sampai aku siap menikahinya. Dan sekarang….

"Sekarang, mau tak…Ustadz kasih lihat wanita cantik?"
"Maksud Ustadz?"
"Ya…coba lagi."
Aku agak gusar. Sebenarnya, aku masih takut.
"Cantik…sekarang saya hanya perlu yang sholehah Ustadz."
Ustadz Fachrozi hanya tersenyum kecil.
"Lihat saja apa nanti kamu bisa menolak ‘cantik yang ini’." Aku hanya mengerutkan dahi.
Bulan April

Ceritanya aku, Simbok, dan Ustadz Fachrozi menemui orang tua wanita yang kata ustadz Fachrozi cantik itu. Aku juga diperbolehkan untuk melihat wanita itu. Cantik memang, walaupun tampak lebih sederhana dari Niken. Kata Ustadz Fachrozi, dia sholehah. Itu yang paling penting buatku sekarang.

Dan ternyata, proses menuju pernikahan begitu cepat. Tak lebih dari dua minggu proses ta’aruf, kami merasa cocok. Tentu keputusan ini aku ambil setelah melakukan sholat istikharah seperti kata Ustadz Fachrozi. Kini kami telah resmi menjadi suami istri dan tentu, kami telah memiliki hak dan kewajiban masing-masing.

Kurasa pria manapun yang menikah dengan wanita sholehah macam istriku, cepat atau lambat akan tahu secantik apa istri mereka. Isyah istriku , memang cantik. Perhiasan dunia yang terindah buatku. Bahkan, aku seperti melihat calon bidadari surga di rumahku sendiri setiap kali memandangnya.

Bayangkan, dari bangun tidur hingga tidur lagi wajahnya yang mendominasi rumahku. Tapi aku tak pernah bosan. Selalu ada saja yang membuat dia tampak begitu cantik di mataku. Bukan wajahnya. Tapi, apa yang terpancar dari wajahnyalah yang membuatnya demikian. Dia teman yang baik, yang selalu mengantarkanku pergi bekerja dengan senyum yang meneduhkan. Dia yang selalu menyambutku penuh kerinduan saat aku letih sepulang bekerja. Dia teman diskusi yang jenius. Subhanallah…Bayangkan betapa cantik hatinya…saat ia berhasil meredam emosiku yang kadang meluap-luap. Cantik kan?

Dan, melihatnya seakan memberitahukan padaku bahwa cinta yang sejati adalah cinta kepada Yang Menganugerahkannya padaku.


Rait
Yogyakarta, 21 Oktober 2005

No comments: