Friday, August 26, 2005

ALERGI

Nggak suka! Sayur berwarna orange itu nggak pernah aku suka. Dari kecil aku emang nggak pernah mau memakannya. Kalau hari itu masak sop, jangan harap deh bakalan kusentuh. Dulu, aku emang nggak suka banyak jenis makanan. Dari berbagai jenis bahan sop, satu yang aku suka cuman....kuahnya. Ya, aku rela biar cuman makan nasi + lauk yang cuman ditambah kuah daripada harus makan kubis, apalagi daun bawang ma seledri, bikin kepala pusing kalau dimakan. Tak ketinggalan sayuran berwarna orange itu. walaupun dibentuk bunga, polos atau apapun juga, tetap saja makanan itu......nggak menarik.
Sayuran yang satu ini emang banyak mengandung vitamin A. Bentuknya panjang dan meruncing di bagian bawah. Biasanya dia dipakai buat campuran sop, risoles, pastel, bakwan atau berbagai makanan lainnya. Dia juga biasa dipakai sebagai pemanis sajian. Nggak jarang juga dia dibuat jus. Tapi walau apapun cara masaknya, aku tetap nggak suka.
Aku paling suka bantuin orang dapur mengupas bawang dan mengiris-iris sayur, termasuk sayuran itu. Aku suka mengirisnya seperti kipas, kemudian kupotong panjang-panjang untuk campuran bakwan. Aku juga suka mengirisnya bulat dengan cuilan kecil di bagian pinggir-pinggirnya. Cuman itu yang aku suka. Selain itu, tidak!!
“Ih, kok doyan banget seh makan wortel, kaya kelinci aja.” kataku pada Mbak Mega.
“Makan wortel tuh sehat tau, biar nggak sakit mata.” katanya waktu itu.
“Ih apa enaknya? Dimasak aja nggak enak gitu, apalagi dimakan mentah. Heks!” kataku yang mulai nggak sopan pada kakak pertamaku.
Aku mulai membayangkan rasanya di rongga-rongga kerongkongan....anyir. Seketika itu pula perutku terasa mulas.
Beberapa tahun setelahnya, saat aku mulai duduk di bangku kelas 6 di tingkat sekolah dasar, sekolahku mengadakan acara masak-memasak sebagai bahan ujian PKK kami. Tema masakannya adalah Nasi menggono. Ya, begitulah guruku menyebutnya. Jujur saja aku sendiri baru saja mendengar nama itu. Kata guruku, nasi menggono adalah sejenis nasi tumpeng dengan lauk ingkung ayam dan berbagai kelengkapan di sekelilingnya. Penjelasan lebih lanjut tentang bahan dan cara memasak telah dipaparkan di depan kelas dan kelompokpun telah dibagi.
Hari itu kami mulai bekerja. Hiruk pikuk dan celoteh anak-anak mulai menggema memenuhi area parkir yang telah disulap menjadi layaknya sebuah dapur umum. Bahan-bahan yang telah diceritakan oleh Bu Sisca adalah telur, bawang merah, cabe merah besar, kacang panjang, kecambah, mentimun, tomat dan tak ketinggalan seledri serta wortel. Aku mulai membayangkan berbagai bahan makanan yang serba tidak enak. Toh begitu, aku kan hanya memasak saja. Walaupun para guru juga tidak melarang kami untuk menyerbu makanan seusai penilaian dilakukan.
Mmm apa yang harus kami kerjakan, aku belum begitu mengerti. Walaupun seharian aku telah diprivate oleh ibuku tetap saja aku tidak tahu bagaimana cara memasaknya. Untung saja ada teman-teman lain yang tahu dan segera beraksi. Aku sendiri hanya kebagian......seperti biasa mengiris-iris sayuran.
Setelah berjam-jam kami bekerja, akhirnya jadi jga nasi enggono ala anak-anak kelas 6. nasi yang ditaruh di atas piring itu dibawa ke dalam kelas beserta segala kelengkapannya, seperti lilin, bunga, tisu, air minum dan sebagainya.
Karena lama bersibuk ria dengan masakan kami, perutku mulai terasa lain (tentu saja aku nggak full cuman mengiris-iris sayur saja). Ususku terasa seperti dipetik-petik hingga menimbulkan bunyi tang-ting alias krucak krucuk tanda lapar. Aku bergegas membeli buah-buahan di dekat gerbang sekolah bersama teman-temanku.
Oh iya aku sudah berubah loh, dulu aku merasa kalau melon itu nggak enak. Berkat teman-teman yang sering mengajakku membeli buah-buahan, aku jadi suka melon. Dan waktu itupun aku juga membeli elon. Kubawa melon itu ke tempat parkir dan kumakan sambil duduk di atas pembatas parkiran setinggi pusar. Tiba-tiba Tyo datang dengan membawa wortel yang telah bersih terkupas di tangannya. Dia berjalan ke arah kami dan melompat duduk di atas meja, tepat di depan kami. Lalu.................
“KRIUKK!!!”
Suara giginya yang bertabrakan dengan wortel terdengar seperti dalam iklan apel merah yang pernah kulihat di televisi. Seketika itu juga perutku terasa mulas dan melonku pun terasa tidak enak lagi.
“Tyo kaya orang kurang pangan deh.” kataku tanpa basa-basi. Tyo yang tidak mengerti maksud perkataanku hanya mengernyitkan dahinya sambil celingukan.
“Apa? Kurang pangan? Siapa? Maksudnya?” tanyanya kemudian.
“Ya kamu, siapa lagi? Aku kan dah bilang ‘Tyo’. Tyo kurang pangan, masak wortel mentah gitu dimakan.” Protesku sambil berharap dia akan menghentikan kegiatannya memakan wortel di depanku.
“Wah…pinter-pinter tapi bodo juga yah. Zat-zat yang diperlukan tubuh itu justru terdapat dalam makanan, buah dan sayuran yang masih mentah.” katanya sambil menunjukkan gaya Pak Rony saat menjelaskan bab Makanan Bergizi dalam pelajaran IPA.
“Iya seh, tapi itu lebih tepat kalo lo terapin di buah aja, bukan sayur kaya wortel itu.” kataku makin memprotes.
“Ye….serah gue dong. Wortel tuch lebih enak sdaripada melon tau gak? Melon tuch neg banget.” katanya sambil melihat melon di tanganku yang sedari tadi aku pegang saja. Aku tidak lagi memakannya karena perutku sudah mulas.
“Wortel tuch yang anyir.” kataku sambil berjalan meninggalkan Tyo yang terus mengoceh mencela melonku.

***

kakakku yang kedua baru saja pulang dari Bandung setelah bekerja di sana selama 2 tahun. Dia kaget saat melihatku yang kini telah memakai kacamata. Dengan seragam putih biru dan jilbab serta tasku dia semakin merasa menang mengataiku ‘Bu Guru’.
Sebagai kakak yang cukup dekat denganku, Mbak Dyah sudah hafal dengan makanan yang kusukai dan tidak kusukai. Dia tahu sekali cara membangunkanku saat bulan Ramadhan. Kalau aku susah dibangunkan, Mbak Dyah atau siapapun cukup mendekatkan sepiring nasi dengan lauk kering twempe ke hidungku. Tak berapa lama aku pasti membuka mata tanpa harus menggoyang-goyangkan tubuhku atau bahkan menyiramku dengan air. Tak ketinggalan pula kehafalannya pada ketidaksukaanku terhadap wortel. Tapi kakakku ini cukup pintar mengambil hati adiknya. Dia cukup tahu bahwa aku akan mau melakukan sesuatu yang dia minta bila dia juga melakukannya. Pun dalam hal makan wortel.
Hari itu kulihat dia sibuk mempersiapkan blender.
“Wah….Minggu pagi gini emang asek bikin jus. Perlu es batu gak?” tanyaku mencoba merayunya agar mendapat bagian.
“Nggak usah. Aku mau bikinin ini buat adek manisku. Tapi, aku juga minta.” katanya mulai melancarkan aksinya. Kupegang kening kakakku, normal!!
“Nggak lagi sakit kan? Tumben baik banget, emang jus apa seh?” tanyaku tak sabar.
“WORTEL!!” katanya singkat.
TOENGNGNG!!!
Aku langsung gedhek-gedhek.
“Dikit aja kok. Segelas berdua aja.” katanya mencoba membujuk. Aku kembali hanya menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Ya udah deh, setengah gelas berdua.” katanya memulai tawar menawar.
“Tapi…….. kalo aku nggak doyan gak boleh dipaksa yah.” kataku memelas.
Akhirnya kamipun membuat ‘setengah gelas berdua’ jus dengan bahan utama musuhku, sayur berwarna orange.
Tak berapa lama jus ala Mbak Dyah dan aku telah tersaji di meja. Mbak Dyah menyuruhku meminumnya. Aku menggeleng dan berbalik menyuruhnya memulai. Mbah Dyah memulai atraksinya dengan meminum setengah dari setengah gelas alias seperempat gelas jus wortel itu dan menyerahkan seperempatnya padaku. Kudekatkan gelas ke mulutku, terciumlah bau anyir sang wortel. Perutku kembali terasa mulas. Dalam dua tegukan saja kepalaku terasa pusing bukan main. Keringat dingin mengucur di tubuhku. Seharian aku hanya mampu berbaring di kamar dengan terus memegangi kepalaku.
Ketika paginya aku kembali sehat, ayah, ibu, Mbak Mega dan Mbak Dyah hanya tertawa melihatku.

***

Suatu hari, dalam sebuah worksho yang diikuti oleh anak-anak berseragam putih abu-abu sepertiku, kudengar seorang penulis merumuskan tentang AMBAK, Apa Manfaatnya BagiKu? Aku mencoba merenungkan kembali di rumah. Kutuliskan besar-besar manfaat apa yang dapat kuambil dari sekedar makan wortel dalam secarik kertas. Kubaca lagi dan kutempelkan di dinding biru kamarku. Lama-lama akupun tergerak untuk mencoba sekejap saja melupakan pengalaman pahitku bersama jus wortel. Kalau aku makan wortel, kata orang bisa mencegah dan mempertahankan minusku agar tak bertambah. Yang pasti, dengan makan wortel aku akan mendapat asupan gizi. Lalu….yang paling membuatku bersemangat, aku bakalan punya prestasi. Seperti kata guruku di SMK, bahwa sebuah prestasi tidak harus diraih dari ranking di kelas atau berbagai tropi yang kuterima. Ya, bisa memakan dan menyukai wortel yang selama ini kubenci adalah sebuah prestasi. Prestasi yang perlu kuacungi jempol, telunjuk, jari tengah, jeri manis dan kelingking. Sebuah prestasi yang ‘BESAR’.
Sayang, untuk mencapai prestasi itu bukanlah hal yang mudah. Setiap kali aku mencoba memakan wortel mentah, satu gigitan kecil saja terasa tidak enak di perutku. Ketika kupaksakan untuk makin banyak menggigitnya, wortel itu terasa tersekat di kerongkonganku, siap meluncur kembali seperti rudal.
Kucoba beberapa saran teman. Ada yang mengusulkan untuk dibuat jus. Jelas kutolak!!! Aku tidak menginginkan kejadian ketika SMP terulang kembali. Ada juga yang mengusulkan agar aku memakan mentah. Aku sudah melakukannya dan gagal. Lalu ada yang mengusulkan agar aku membuat ‘jus manual’ saja. Aku agak heran mendengar istilah itu. Ternyata jus manual adalah sebutan yang temanku berikan untuk wortel yang diparut dan diperas. Tepatnya, sari wortel. Katanya itu lebih alami dan rasanya berbeda dengan jus blender-an. Kucoba membuatnya dengan menambahkan gula dan kuaduk-aduk. Kucoba meminumnya sedikit, tapi rasanya tetap sama. Efek pusingnya masih saja terasa di kepalaku. Untung saja aku tidak menenggaknya hingga habis. kalau tidak, bisa-bisa aku harus dilarikan ke dokter atau rumah sakit terdekat karena disangka alergi wortel.
Suatu hari Mbak Mega datang ke rumah bersama Sofyan, anak pertamanya. Anak berumur 2,5 tahun itu adalah buah pwerkawinannya dengan Mas Anton. Karena kangen dengan masakan Mbak Mega, hari itu kami memberlakukan ‘wajib masak’ bagi Mbak Mwega. Karena putranya yang terus mengganggu dan tidak mau diajak bermain, alhasil masakan Mbak Megapun lodrok alias terlalu matang. Hilang sudah keinginan seisi rumah untuk menikmati sup ala Mbak Mega. Yang ada malah mega mendung dari wajah-wajah cemberut ayah, ibu dan Mbak Dyah.
Aku yang baru saja pulang dari sekolah setelah mengikuti ekstrakurikuler bola voli langsung menyambar tudung makan setelah menyandarkan tasku di kursi ruang makan. Saat kulihat wortel dalam sup ayam, seleraku mulai berkerut-kerut seiring kerutan usus di dalam perutku. Seketika itu pula aku teringat akan ‘prestasi’. Aku mencoba mengencangkan kembali seleraku dan melahap wortel yang ada. Aku sudah siap nyengir-nyengir merasakan anyirnya si wortel. Tapi……..kok……..nggak ada rasanya? Akhirnya sejak hari itu aku sadar bahwa kuncinya ada pada…..terlalu matang. Dan sejak itu pula, setiap makanan yang mengandunng wortel harus dimasak secara ‘terlalu matang’. Sedikit demi sedikit kucoba memakan wortel dengan kematangan normal. Ternyata….layaknya suatu keterampilan yang makin diasah makin terampil, makin banyak aku makan wortel, makin nggak kerasa anyirnya. Kucoba memakan risoles, pastel, …..lama-lama kucoba pula memakan wortel mentah. Akhirnya aku lancar-lancar saja memakan wortel dan rasa mulas di perutku hilang saat berhadapan dengannya, termasuk dalam bentuk jus blender ataupun manual. Semua kulahap. Prestasi itu akhirnya dapat kucapai juga.

***

“Bu, beliin daun bawang sama seledri, yah.” teriakku saat melihat ibu akan pergi ke pasar.
“Buat apa? Bukannya kamu nggak doyan?” sahut ibu kemudian.
“Aku kan mau belajar makan, Bu.” kataku teriring sebuah senyum kecil dari bibir ibu.


Yogyakarta, 6 Maret 2005
hand_shaoran

No comments: